Penyakit Nepotisme, Apa Itu?


(Artikel ini telah tayang di SUARA MERDEKA Suara Merdeka 20 Agustus 1995)


ISTILAH nepotisme dalam beberapa pekan ini menjadi "bunga" bagi media massa kita, terutama setelah ketua MUI KH Hasan Basri dan anggota Komisi III DPR RI melemparkan isu tersebut seiring dengan merebaknya kolusi dan bis- nis anak-anak pejabat.

Nepotisme berasal dari bahasa Latin; nepos yang berarti cucu. Na- mun menurut ensiklopedi Indone- sia, nepotisme berarti kecende- rungan untuk memberikan prioritas di luar ukuran kepada sanak- saudara dalam hal pekerjaan, jabat- an, maupun pangkat di lingkungan birokrasi kekuasaan. Sebagai ben- tuk penyelewengan sebenarnya nepotisme sudah ada sejak jaman- nya Paus Adrianus (772-795 M). Kemudian menonjol di Eropa pada abad pertengahan. Puncaknya ter- jadi pada zaman Alexander VI dan Julius II serta berlanjut hingga ja- man Renaisans.

Nepotisme bisa bersarang ke se- mua orang, tak peduli ia orang berpendidikan ataupun tidak, kaya atau miskin, semua memiliki ke- cenderungan yang sama. Kecende- rungan untuk bernepotisme me- mang tidak mengenal tingkat ke- majuan masyarakat. Hanya saja, faktor kesempatanlah yang mem- buat kelompok tertentu lebih bisa mengembangkan "bakat" terpen- damnya dibandingkan kelompok lain. Malah jangan-jangan generasi kita penganut (boleh dibaca pe- waris) kuat "isme" itu, mengingat nepotisme tak selalu menjadi mo- nopoli orang-orang yang punya kekuasaan. Remaja pun tanpa disa- dari banyak yang melakukan prak- tek nepotisme dalam kehidupan se-hari-harinya.

Refleks

Dalam perkembangannya, nepo- tisme telah mengalami "metamor- fosa", dari bentuk kegiatan sadar menjadi kegiatan bawah sadar. Dari praktek dalam bidang politik ke segala bidang kegiatan manusia. Bahkan cenderung menjadi tindak- an refleks, sebagai suatu upaya mempertahankan diri dan keluarga (orang yang dekat).

Mungkin di antara kita tidak mengira bahwa perbuatan kita yang semula tujuannya baik, yakni menolong ternyata masuk kategori ini. Ketika kita tak tahan adik kita ngos-ngosan karena harus antre membeli formulir UMPTN, lantas kita mencoba menembus jalan pin- tas. Atau bisa jadi karena kita meli- hat ada mahasiswa baru yang kita taksir, lantas kita berusaha melin- dungi dari "dampratan" kawan se- nior saat opspek. Pendeknya ia tak harus bermotif "kekuasaan" dalam arti luas seperti halnya terjadi da- lam struktur kenegaraan. Sebalik- nya bisa pula terjadi pada hal-hal kecil yang kadang tidak kita sadari.

Meskipun terjadi pada hal-hal sepele, tidak berarti kita bisa cuek. Bukankah kita bisa bercermin pada pepatah yang mengatakan sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Mula-mula terjadi dalam lingkup kecil, tapi bagaimana jika suatu saat kita siap terjun ke ma- syarakat? Apakah hal itu juga akan kita teruskan ? Karena itulah, mumpung belum terlanjur, membi- asakan diri untuk tidak berakrab- akrab dengan apa yang dinamakan nepotisme adalah suatu tindakan positif.

Rugi

Nepotisme, selain merugikan diri sendiri, yakni membuat kita ti- dak percaya diri sendiri, ternyata

merugikan orang lain, terma- suk orang yang kita beri fasilitas sekalipun. Karena dengan terbiasa mendapat keerakan mereka menja- di generasi pemalas, manja, dan minder. Intinya menjadi nepotis ataupun menerima perlakuan nepo- tisme sama-sama rugi.

Terus, apa yang sekarang bisa dilakukan oleh generasi muda? Biarlah, tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan kepada para pendahulu kita, para ortu kita, ada baiknya jika kita museumkan saja "warisan" itu.

Akan tetapi, persoalannya me- mang tidak sesederhana itu. Merubah sesuatu yang sudah men- jadi kebiasaan bahkan ideologi, memang sulit. Keberhasilannya di- tentukan oleh banyak faktor, baik yang sifatnya internal maupun ek- sternal. Yang internal berupa dorongan atau keinginan dari tiap in- dividu untuk tidak terpancing oleh situasi yang sudah salah kaprah. Yang eksternal adalah terciptanya suatu sistem atau pranata sosial yang kondusif bagi terbentuknya masyarakat yang objektif dan disi- plin (wah klise ya?).

Sistem atau pranata sosial tadi ti- berupa aturan tertulis dak selalu b UU, KUHP, Tap seperti H i halnya MPR, ataupun bentuk perundang- undangan lainnya. Lebih dari itu, yang perlu ditumbuhkan adalah munculnya etika malu untuk mela- kukan maupun menerima per- lakuan nepotisme.

Bagi mereka yang kebetulan or- tu-nya pejabat, atau bos di suatu perusahaan memang kadang serba kurang mengenakan. Mau mengikuti arus, nurani tak bisa dia- jak kompromi. Mau menjadi "pelo- por" nanti dikirain pelit, sombong. Pokoknya serba dilematis. Tapi, siapapun diri kita, ada baiknya jika menyatakan perang melawan nepotisme. Mudah-mudahan kita keluar sebagai pemenangnya. 

(Adi Prasetyo)

Posting Komentar untuk "Penyakit Nepotisme, Apa Itu?"