Pendidikan dan Dekadensi Moral Generasi Muda
(Artikel ini telah tayang di Suara Merdeka 22 Desember 1995)
DEKADENSI dalam Ensiklopedi Indo- nesia, diartikan sebagai suatu kemunduran yang biasanya menuju kehancuran. Se- dangkan moral adalah, seluruh kaidah ke- 'susilaan dan kebiasaan yang berlaku umum. dalam masyarakat, serta mencakup sikap, perbuatan, sifat pandangan, dan kewajiban. Dengan demikian, dekadensi moral meru- pakan kemerosotan sikap, perbuatan, dan sifat pandangan.
Di kalangan generasi muda dewasa ini, dekadensi moral sudah berada pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan. Hampir se- 'tiap hari, media cetak maupun media elek- tronik menyajikan berita mengenai pe- merkosaan, pencurian, perkelahian, narkoti- ka, penganiayaan, penjambretan, pem- bunuhan, penipuan, dan perjudian yang di- lakukan oleh generasi muda (remaja).
Kita patut merasa prihatin terhadap kon- disi seperti itu. Sebab secara jujur, harus di- akui bahwa tujuan sistem pendidikan nasio- nal belum tercapai.
Pendidikan nasional memiliki fungsi me- ngembangkan dan meningkatkan martabat manusia Indonesia, serta mutu kehidupan. bangsa Indonesia. Di samping memiliki fungsi untuk mewujudkan tujuan nasional, pendidikan nasional sendiri mempunyai tu- juan khusus yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia In- donesia seutuhnya; yaitu manusia yang be- riman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jas- mani dan rohani, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pen- didikan merupakan faktor yang sangat dom- inan, di samping beberapa faktor yang lain. Pendidikan dapat memberikan hasil opti- mal, jika dalam pelaksanaannya didasarkan atas tanggung jawab bersama antara peme- rintah, orang tua, dan masyarakat.
Sekolah
Kondisi sekolah, orang tua, dan masyara- kat sebagai komponen pendidikan yang menuju pada terciptanya manusia Indonesia seutuhnya, masih dirasakan kurang kon- dusif.
Guru-guru sekarang ini, misalnya, ham- pir semua lebih mengutamakan tugasnya sebagai seorang pengajar, Mereka cen- derung mengutamakan terjadinya perubah- an/pertambahan pengetahuan pada anak sikap maupun didik, sehingga perubahan: perilaku siswa kurang mendapatkan perha- tian. Dengan kata lain, guru lebih menguta- makan tugasnya sebagai pengajar dan me- ngesampingkan tugasnya sebagai pendidik.
Munculnya sikap seperti itu, tidak dapat disalahkan begitu saja. Sebab, itu timbul se- ¡bagai tuntutan dari kurikulum, UMPTN, dan NEM. Artinya, keberhasilan suatu pen- didikan hanya diukur dari keberhasilan siswa dapat diterima UMPTN, dan tinggi- 'nya NEM yang diperoleh. Semakin banyak 'siswa yang lolos UMPTN dan semakin tinggi NEM yang diperoleh siswa, semakin berkibarlah bendera sekolah di mata masyarakat.
Pada sisi lain, mata pelajaran yang mem- bentuk sikap dan moral siswa. -seperti pendidikan agama dan PMP- lebih ba- nyak ditanggapi sebagai kajian ilmu penge- tahuan. Baik menyangkut metode pe- nyampaian bahan kajian," maupun evaluasi terhadap bahan kajian. Sehingga tu- juan dari mata pelajaran tersebut, yang mengingin- kan terjadinya perubahan aspek kognitif maupun afektif, tidak tercapai. Se- bab, yang terjadi hanyalah perubahan pada aspek kognitif saja.
Kewibawaan Guru Mengenai kewibawaan guru, hal itu merupakan pancaran kepribadian: yang menimbulkan pe- ngaruh positif, sehingga siswa mematuhi perintah dan dan larangannya. Wibawa seorang guru di- tentukan oleh kepribadian, keteladanan, perlindungan, sikap adil, dan berani bertin- dak
Kondisi fisik dan kelebihan pengetahuan, merupakan faktor yang dapat menambah kewibawaan guru. Nampaknya, kedua kon- disi itu sulit untuk dipenuhi oleh guru. De- ngan gaji yang sudah habis dipotong untuk iuran macam-macam, sangat sulit bagi mereka untuk dapat tampil dengan kondisi fisik dan penampilan yang meyakinkan.
Sedangkan kelebihan pengetahuan sulit diharapkan dimiliki oleh mereka, juga: untuk terwujud. Pada umumnya, perkem- bangan iptek dapat diikuti melalui media cetak maupun elektronik. Sedangkan secara ekonomis, guru lebih disibukkan untuk mencari tambahan penghasilan. Sehingga praktis, mereka tidak punya kesem- patan/waktu untuk menambah penge- tahuan. Akibatnya, sering terjadi penge- tahuan siswa lebih luas dari pengetahuan guru. Akibat lebih jauh, di mata siswa wibawa guru menjadi berkurang.
Pada 1950-an, profesi seorang guru merupakan suatu pekerjaan yang sangat dibanggakan. Guru dianggap sebagai orang yang serba tahu. Oleh masyarakat, mereka dianggap sebagai sosok yang patut di-gugu dan ditiru.
Sekarang, kondisi se- bagai sosok yang di- gugu dan ditiru, telah dicemari oleh ulah ok- num guru. Beberapa contoh tindakan amoral seorang guru, sering di- jumpai pada halaman surat kabar. Mulai dari guru yang melakukan. kegiatan judi dan sa- bung ayam, sampai pa- da tindakan tidak senonoh seorang guru terhadap anak didiknya. Dalam bahasa plese- tan, sekarang ada guru yang "wagu" dan "saru", sehingga mereka sulit untuk meng- hasilkan produk pendidikan yang berkualitas
Orang Tua
Akan tetapi, sekarang ini sering kita de- ngar cerita-cerita tentang kisah orang tua yang kurang terpuji. Misalnya, seorang kakek yang tewas setelah berkencan di se- buah hotel, seorang ayah yang meninggal dalam sebuah mobil bersama seorang gadis di tepi pantai, dan sebagainya. Peristiwa-pe- ristiwa seperti itu, jelas akan memberikan dampak yang kurang baik kepada anak. Masyarakat
Pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat, memaksa orang untuk berlomba- lomba memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya tanpa mempedulikan waktu. Ba- nyak orang tua (baca: ayah) yang terus menerus membanting tulang, mulai pagi sampai malam untuk menghidupi keluarga. Sang ibu, menghabiskan waktunya dari hari ke hari untuk kegiatan arisan, shoping dan lain-lain.
Hal itu, menyebabkan mereka (orang tua) kehilangan kesempatan untuk mem- berikan pendidikan kepada putra-putrinya. Karena kurang mendapatkan perhatian, aki- batnya anak-anak berusaha sendiri untuk menarik perhatian, dengan melakukan ak- tivitas-aktivitas yang cenderung negatif; seperti perkelahian, mabuk-mabukan, ke- but-kebutan, ngoplo maupun narkotika, dan sebagainya.
Pada sisi lain, muncul anggapan yang keliru dari orang tua terhadap peranan sekolah, Mereka berpendapat, keberhasilan anak anak menjadi tangung jawab sekolah. Padahal dalam satu hari, waktu yang tersedia, oleh anak lebih banyak dihabiskan di luar sekolah.
Jika anak melakukan kesalahan, dengan serta merta pihak orang tua menyalahkan sekolah (baca: guru) sebagai pihak yang ti- dak bisa mendidik anak. Tentu saja itu merupakan suatu pendapat yang keliru, se- bab seperti yang disebutkan dalam perun- dang-undangan, bahwa pendidikan meru- tanggung jawab bersama, antara Polah, orang tua, dan masyarakat.
Akibat munculnya anggapan yang salah tersebut, setelah anak keluar dari lingkung- an sekolah, ia kurang memperoleh pen- didikan dari orang tua dan masyarakat.
Metoda yang paling baik untuk mendidik seorang anak adalah keteladanan. Dengan memberikan keteladanan, anak akan dibi- asakan untuk melihat suatu "aktualisasi moral", yang pada gilirannya akan mampu mengekspresikannya dalam perilaku.
Diakui atau tidak, sebagai komponen yang ikut bertanggung jawab terhadap pen- didikan, masyarakat banyak memberikan contoh yang tidak tepat; baik itu me- nyangkut ketidakdisiplinan, kesewenang- wenangan, ketidakjujuran, hukum rimba, manipulasi, maupun ketidaktertiban.
Karena waktu yang tersedia dalam satu hari lebih banyak dihabiskan di luar sekolah ementara masyarakat (baca: masyarakat), sendiri banyak menyajikan kejadian-kejadi- an yang tidak mendidik, dengan sendirinya seorang anak akan lebih mudah terseret pa- da perilaku amoral.
Latar belakang pendidikan, budaya dan ras yang majemuk, juga sering mengham- bat pendidikan moral. Perbedaan latar be- lakang pendidikan, budaya, dan ras, akan melahirkan batasan-batasan moral yang berbeda juga. Satu kelompok masyarakat dengan jenis ras tertentu, akan memiliki batasan moral yang tidak sama dengan kelompok lainnya. Dengan kata lain, "baik bagi suatu kelompok tertentu, belum tentu "baik" bagi kelompok lain.
Berangkat dari itulah, agaknya sulit bagi masyarakat memainkan perannya untuk melakukan pendidikan moral, sebagai aki- bat kemajemukan tersebut. Kesulitan-kesu- litan itu, akan menimbulkan suatu kesen- jangan moral yang cukup tinggi, yang pada saatnya nanti akan melahirkan suatu dekadensi moral di kalangan generasi mu- da (41)
-Drs Adi Prasetya SH, staf Kandepdik- bud Kabupaten Semarang.
Posting Komentar untuk "Pendidikan dan Dekadensi Moral Generasi Muda"
Posting Komentar