Carut Marut Pendidikan Era OTDA

(Artikel ini telah dimuat Suara Merdeka 30 Desember 2004)

Sejak berlakunya UU no 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pendidikan menjadi salah satu bidang yang diotonomikan pada tingkat kabupaten/kota. Lima tahun kemudian, UU ini diganti dengan UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang diharapkan lebih sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga mampu mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan daerah.

Problematika OTDA

Namun ternyata dalam perjalanannya, yang terjadi malah sebaliknya. Otonomi pendidikan justru melahirkan sejumlah persoalan. Mulai dari masalah sarana sampai ketenagaan (pendidik/tenaga kependidikan). Kebijakan yang terkait dengan ketenagaan, sering dilakukan dengan mengabaikan peraturan yang berlaku. Pengelolaan ketenagaan, yang dimulai dari pengangkatan, mutasi dan promosi dilakukan berdasarkan selera dan keinginan bupati/walikota. Aroma tidak sedap kerap mewarnainya. Dari indikasi tim sukses atau tidak, hingga money politics, menjadi rahasia umum masyarakat pendidikan. Masyarakat pendidikan merasakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Sebenarnya, Kemendiknas dalam rangka mengantisipasi hal tersebut, sudah menerbitkan regulasi tentang pengelolaan ketenagaan. Namun hal ini tidak mampu melawan arogansi bupati/walikota. Terakhir, Mendiknas mewacanakan akan menarik kembali kewenangan daerah dalam bidang pendidikan, menjadi kewenangan pemerintah pusat. Akankah ini menjadi solusi untuk mengurai problematika pendidikan era otonomi daerah?

Review UU 5/74

Otonomi daerah (otda) bukanlah barang baru. Otda sudah dikenal sejak lahirnya UU no 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi melahirkan otonomi daerah, yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Dekonsentrasi melahirkan instansi vertikal, dalam bentuk Kantor Wilayah Provinsi dan Kantor Departemen kabupaten/kota dan menjadi bagian dari Departemen.

Kewenangan dalam bidang pendidikan dipisahkan menjadi dua bagian. Instansi vertikal dalam bentuk kanwil depdiknas, mengelola satuan pendidikan TK, SMP, SMA dan SMK. Mulai dari man, money, material and method. Sedangkan kabupaten/kota sebagai daerah otonom, mengelola satuan pendidikan SD, yang meliputi man, money and material. Sedangkan teknis edukatif SD ditangani oleh instansi vertikal. Otonomi terbatas ini berjalan dengan baik dan terjadi sinkronisasi dan sinergi yang harmonis antara instansi vertikal dan daerah otonom. Semua proses birokrasi berjalan sesuai dengan regulasi.

Pada era UU 22/99 dan UU 32/04, kondisi yang demikian tidak dijumpai. Pada era ini, kabupaten/kota memperoleh otonomi yang seluas-luasnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Pemilihan bupati/walikota secara langsung, melahirkan politisasi birokrasi. Lahirlah ’faksi’ dalam tubuh birokrasi. Otonomi yang luar biasa dan politisasi birokrasi menjadi penyebab carut marutnya pengelolaan pendidikan. Distribusi sarana pendidikan, pembinaan serta pengembangan karier ketenagaan, lebih didasarkan pada ikatan-ikatan politik dan sebangsanya. Rumusan kebijakan pendidikan lebih berorientasi pada kepentingan politik, terutama yang bersentuhan dengan pilkada.

Re-sentralisasi pendidikan/ketenagaan, seperti yang diwacanakan, justru semakin menambah runyam persoalan pendidikan. Mengembalikan konsep pemda, seperti yang diatur dalam UU no 5/74, menjadi solusi bijak. Karena UU 5/74 ini menganut asas otonomi terbatas. Pembentukan instansi vertikal lewat asas dekonsentrasi, merupakan nilai positif UU ini. Pilkada oleh legislatif yang minim konflik dan biaya, memperkuat asumsi, bahwa untuk saat ini konsep UU 5/74 adalah konsep yang ideal. Pemerintah tidak perlu merasa malu untuk menghidupkan kembali jiwa dan semangat UU 5/74.

Biodata Penulis

Nama: Drs. Adi Prasetyo, SH, M.Pd

Jabatan: Ketua PGRI Kab. Semarang

Alamat: Ngesrep Barat III/5 Semarang

No. HP: 0811270309

Posting Komentar untuk "Carut Marut Pendidikan Era OTDA"