Revisi UU ITE dan Kebebasan Bersuara



(Artikel ini telah tayang di SUARA MERDEKA tanggal 10 Maret 2021)


Sejak resmi diundangkan 13 tahun yang lalu UU ITE pernah satu kali mengalami revisi dan sedikitnya 7 kali digugat ke mahkamah konstitusi.Gugatan diajukan terhadap pasal yang dianggapmulti tafsir. 

Dari data yang terkumpul,  UU ini diduga memakan korban aktivis, jurnalis dan memakan korban warga yang kritis. Kita masih ingat bagaimana ibu Bait Nuri,l korban pelecehan sexsual ,curhat tapimalah dipdana. Lalu Ibu Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan rumah sakit,juga dipidana . Di  era UU ini, banyak masyarakat yang saling lapor ke aparat penegak hukum dengan jerat UU ITE,dengan menggunakan pasal pasal UU ITE yang diduga multi tafsir.

Ada anggapan,UU ITE akan digunakan penguasa untuk membungkam siapa saja yan bersikap kritis terhadap pemerintah. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Faktanya,korban-korban UU ITE,mereka yang pernah dituntut atau di dakwa bahkan sudah ada yang difonis termasuk Ibu Ita Mulyasari dll. Sebagian besar mereka yang sudah ke pengadilan, mereka itu bukan konflik dengan penguasa atau pemerintah pusat.

konflik-konflik itu terjadi antara masyarakat dengan masyarakat.

Tetapi memang masyarakat yang memiliki kelas sosial lebih tinggi misalnya dosen dengan dekan, , guru dengan kepala sekolah.jadi bukan kekuatan politik nasional yang ingin membungkam.

Sampai tahun 2019 jumlah kasus pemidanaan terkait UU ITE mencapai 285 kasus.  Angka ini meningkat pada tahun 2020 sebesar 110 tersangka dengan pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang banyak digunaka sebagai dasar pelaporan.

Sejumlah pasal dalam UU ITE,memiliki celah multi tafsir pasal-pasal tersebut dinilai menghambat kebebasan berekspresi. Ada 2 pasal selama ini yang menjadi perdebatan yaitu 

  • Yang pertama  UU ITE pasal 27 ayat 3 yang menyatakan” setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan,mentransimikan membuat diaksesya dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik”.
  • Yang ke dua Kemudian dipasal 28 ayat 2 yang menyebut “Bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu,kelompok berdasarkan sara”. Kalimat terakhir inin yang dianggap multi tafsir selama ini.
  • Pada sisi yang lain, UU ITE juga tidak menjelaskan secara rinci, apa itu penghinaan,apa itu peryataan kebencian,permusuhan,semua itu dikembalikan kepada KUHP. Formulasi yang ada dalam UU ITE , bercampur antara delik aduan dan yang bukan delik aduan. Penghinaan dalam KUHP itu diatur mulai pasal 310 hingga 321,ada 6 jenis penghinaan. Didalam UU ITE hanya dituangkan satu kata saja yang  namanya penghinaan atau pencemaran nama baik,sehingga benar kalau dikatakan karet atau multi tafsir.
  • Meski demikian, UU ITE yang baru 8 tahun ini sudah direvisi.hal ini sesuai dengan tutuntutan/kondisi masyarakat,kemajuan teknologi, dan modus operasi kejahatan yang memanfaatkan teknologi. 
  • Salah satu antisipasi dugaan adanya pasal multi tafsir, pemerintah harus Mengambil langkah-langkah baik melakukan revissi,menterjemahkan,atau menginterprestasikan pasal 27 ayat 3,Pasal 28 ayat 2 yang sudah berkali-kali diajukan yudicial riview  ke MK,yang ditolak oleh MK,dipersiapkan pedoman interpretasi yang baik sebagai pelaksana UU itu oleh aparat penegak hukum ,kepolisian,kejaksaan dan diruang dijital KOMINFO.
  • Secara yuridis,UU ITE ini harus mampu menjaga  ruang dijital Indonesia gar bersih,sehat beretika dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Yang tidak kalah penting,UU ITE tidak boleh menimbulkan rasa ketidak adilan.
  • Dalam kontek dinamika UU ITE,tidak terlepas dari UU No.9 Tahun 1998 Ttentang Kebebasan menyampaikan pendapat. masyarakat atau pihak-pihak yang memakai UU itu sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya, mengomentari  dengan tidak mempertimbangkann kebebasan yang bertanggung jawab,sehingga disitulah kemudian muncul respon dari pihak yang merasa terdesak dan melaporkan ke ranah hukum. 


Setiap pengaduan masyarakat harus direspon oleh POLRI. disisi lain ada masyarakat yang curhat, tanpa norma dan etika serta tidak memperhatikan hal hal yang diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. 

Dua kondisi itu disikapi POLRI , Ddengan menyusun pedoman untuk para penyidik, sejak mereka menerima laporan,mengevaluasi menyampaikan kemudian menindak lanjuti. 

Dari sisi SDM penyidik,mereka meningkatkan kompetensinya mengimbangi kemajuan teknologi. Hal ini akan mendukung proses penyelidikan dapat dilakukan dengan cepat.

Salah satu kunci dalam penyidikan adalah perlunya dukungan  keterangan ahli ,baik ahli bahasa, komunikasi,maupun ahli pidana. Ketika ahli-ahli itu menyatakan bahwa ini memenuhi unsur maka penyidik akanmelanjutkan ke tahap berkutnya. 

Dipersidangan,pihak terdakwa akan menghadirkan ahli untuk menkounter keterangan ahli yang diajukan oleh penyidik. Akan sangat beresiko seandainya main-main atau memanfaatkan penyilidikan untuk kepentingan tertentu.Dari sisi hukum acara,apparat penegak hukum sudahmenangani kasus klkasus UU ITE dengan professional .

Keberadaan UU ITE ini sangat penting mengingat sekarang dalam tahap akselerasi transformasi dijital , tahap dimana pemanfaatan ruamh dijital yang makin masif. Dibutuhkan payunghukum yang betul kuat,disisi yang satu untuk pemanfaatan ruang dijital untuk kemaslahatan rakyat,disisi yang lain dimanfaatkan agar tidak mengganggu kehidupan dan interaksi sosial masyarakat melalui hoaks, fitrnah, nyinir, kebencian. 

Yang juga perludipertimbangkan adalah,penerapan restorative justice dalam kasus kasus UU ITE. Penegakan hukum harus lebih selektif. Di kedepankan betul upaya upaya melalui mediasi dan jalurperdamaian . Tidak semuanya harus berakhir di pengadilan. penyelesaian perkara yang menggunakan UU ITE harus mengedepankan mediasi antara pelapor dan terlapor. tidak perlu ada penahanan jika perkara yang dilaporkan tidak menimbulkan potensi komplik di masyarakat.

Apapun keputusannya,Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan literasi hukum secara masivedan terstruktur. Karena setelah diundangkan,suatu UU dianggap seluruh rakyat sudah mengerti. Disamping itu,pemerintah dan semua elemen masyarakat, wajib melakukan peningkatan pengawasan kinerja aparat penegak hukum

Pemerintah sudah membentuk Tim Kajian UU ITE,dengan tugas membuat rekomendasi,apakah UU ITE akan direvisi atau hanya akan di buatkan pedoman pelaksanaannya   ssaja. Sambil menunggu putusan tim pengkaji, Kapolri bertindak cepat dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021 tanggal 19 Februari 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produkti. fMelalui SE ini diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.Diharapkan,dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan, Polri senantiasa mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga dapat menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif

Jika memang UU ITE harus dirvisi, maka sebaiknya dihapuss saja,pasal pasal terkait dengan ujaran kebencian, kecuali ujaran kebencian terhadap pemimpin negara, lambang negara, dan terkait dengan kepentingan negara. Kalau ujaran kebencian terkait dengan kepentingan personal/individual, diselesaikan dengan jalur perdata, berapa nilai kerugaian yang disebabkan ujaran kebencian itu. Itu lebih bijaksana.


Drs. Adi Prasetyo, SH., M.Pd, Staf Ahli Bupati BidangPemerintahan ,Hukumdan Politik,Plt Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Semarang 

 

 



Posting Komentar untuk "Revisi UU ITE dan Kebebasan Bersuara "