UU ITE: Mencegah atau Memakan Korban?


(Artikel ini telah tayang di Suara Merdeka 22 Maret 2021)

Sejak resmi diundangkan 13 tahun lalu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pernah satu kali direvisi dan setidaknya tujuh kali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan diajukan terhadap pasal-pasal yang dianggap multitafsir. Dari data yang terkumpul, UU ini diduga memakan korban, termasuk aktivis, jurnalis, dan warga kritis. Kita masih ingat bagaimana Ibu Baiq Nuril, korban pelecehan seksual, yang curhat tetapi justru dipidana. Ada pula kasus Ibu Prita Mulyasari yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit dan berakhir dengan pidana. Dalam penerapannya, UU ITE kerap digunakan masyarakat untuk saling melapor ke aparat penegak hukum menggunakan pasal-pasal yang dianggap multitafsir.

Ada anggapan bahwa UU ITE digunakan oleh penguasa untuk membungkam pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah. Namun, hal ini tidak sepenuhnya benar. Faktanya, korban-korban UU ITE pernah dituntut atau didakwa bahkan hingga divonis, termasuk Ibu Prita Mulyasari. Kasus-kasus tersebut sering terjadi di lingkup hubungan profesional, seperti dosen dengan dekan atau guru dengan kepala sekolah, bukan semata-mata untuk kepentingan politik nasional.

Hingga tahun 2019, jumlah kasus pemidanaan terkait UU ITE mencapai 285 kasus. Angka ini meningkat pada tahun 2020, dengan 110 tersangka yang dilaporkan menggunakan pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Beberapa pasal dalam UU ITE dinilai multitafsir dan menghambat kebebasan berekspresi. Dua pasal utama yang menjadi perdebatan adalah Pasal 27 Ayat 3 yang melarang distribusi dokumen elektronik bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik, serta Pasal 28 Ayat 2 yang melarang penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berbasis SARA. Kedua pasal ini dianggap multitafsir karena tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan penghinaan, ujaran kebencian, atau permusuhan, sehingga sering mengacu pada KUHP.

Formulasi dalam UU ITE mencampur antara delik aduan dan delik biasa. Dalam KUHP, penghinaan diatur secara rinci dalam Pasal 310 hingga 321, tetapi dalam UU ITE hanya disebutkan sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik, sehingga dinilai sebagai pasal karet. Meski demikian, UU ITE telah mengalami revisi delapan tahun setelah diundangkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan modus kejahatan.

Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk mengatasi multitafsir dalam UU ITE, termasuk revisi, interpretasi, atau penyusunan pedoman yang jelas bagi aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Kominfo. Secara yuridis, UU ITE harus menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, dan produktif, tanpa menimbulkan ketidakadilan. UU ITE juga perlu diharmonisasi dengan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat, agar kebebasan berekspresi tetap bertanggung jawab.

Setiap pengaduan masyarakat harus direspons dengan norma dan etika. Polri telah menyusun pedoman bagi penyidik untuk menangani laporan terkait UU ITE, termasuk evaluasi, penyelidikan, dan tindak lanjut. Kompetensi penyidik juga terus ditingkatkan untuk mengimbangi kemajuan teknologi. Dalam penyidikan, dukungan keterangan ahli bahasa, komunikasi, dan pidana sangat penting untuk memastikan unsur-unsur pelanggaran terpenuhi.

Di persidangan, terdakwa sering menghadirkan ahli untuk men-counter keterangan ahli penyidik. Oleh karena itu, penyelidikan harus dilakukan secara profesional dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Dari sisi hukum acara, aparat penegak hukum telah berupaya menangani kasus UU ITE dengan profesionalisme.


(Drs. Adi Prasetyo, SH, MPd,  Staf Ahli Buati Bidang Pemerintahan, Hukum, dan Politik,  Plt Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Semarang).

Posting Komentar untuk "UU ITE: Mencegah atau Memakan Korban?"