Dilema Pajak Pendidikan
(Artikel ini telah tayang di Suara Merdeka 12 november 2021)
Pemerintah berancana akan mengenakan pajak pertambahan nilai atau PPN atas jasa pendidikan sebesar 7% pada rancangan Undang-Undang ketentuan umum dan tata cara perpajakan atau RUUKUP. Namun kementerian keuangan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menarik PPN untuk pendidikan dan sebagainya dalam tahun ini. Saat ini pemerintah masih fokus pada penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi, meningkatkaninfrastruktur pendidikan dan hingga memastikan pembelajaran tetap berjalan dengan baik di masa pandemi covid 19.
Pemerintah berdalih wacana PPN jasa Pendidikan itu masih sangat jauh dan akan hati-hati serta mendengarkan masukan semua pihak. Sasarannya sangat fokus, sangat terbatas. Pemerintah bukan ingin mengenakan pajaknya, tapi ingin mengadministrasikan sekaligus mendorong, mengafirmasi supaya lembaga pendidikan taat atau komit terhadap misi pendidikan yang Nirlaba.
Menurut rencana, sekolah negeri tidak akan dikenakan pajak. Pajak hanya dikenakan pada sekolah yang tidak menjalankan sistem pendidikan nasional atau tidak berorientasi nirlaba,
Meski sudah dipastikan tidak akan diberlakukan tahun ini namun wacana ini masih menuai polemic dan sorotan dari berbagai pihak.
Institusi politik maupun institusi Pendidikankebanyakan dai mereka , menolak wacana terkait dengan pengenaan PPN untuk lembaga pendidikan.
Langkah ini tidak sejalan, tidak senafas dengan pembukaan Undang-Undang Dasar, yang menyatakan bahwa mencerdaskan seluruh kehidupan warga negara adalah kewajiban negara. Hal itu diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Khusus mengafirmasi pendidikan 20%. Sementara sekarang ini pendidikan masih menjadi sektor yyang dikecuallikan atas pengenaan pajak. Jika pengenaan pajak atas sektor pendidikan ditetapkan melalui undang undang dan diturunkan dalam PP , ada potensi seluruh sekolah-sekolah swasta yang di inisiasi sebagai peletak dan perintis, pendidikan di Indonesia seperti Muhammadiah, NU, sekolah katolik, taman siswa bisa terdampak..
Sejatinya, penndidikan merupakan public good dan filosofinya adalah hak semua rakyat. Jika dikenakan pajak, kemudian yang dipungut pajak itu disebut pengusaha kena pajak , maka Pendidikan itu sudah direduksi xsebagai sesuatu yang bisa di perjual belikan. Bukan lagi jasa yang menjadi hak rakyat sesuai dengan amanat konstitusi. Akhirnya yang terkena adalah konsumen. Penjual jasanya penyelenggara , tetapi beban pajak ada di konsumen, dala hal ini, orang tua.Akibatnya,Pendidikan menjadi mahal
Jika kebijakan ini di implemantasikan,, peserta didik akan terkena dampaknya. Biaya pendidikan menjadi mahal, kemudian orang tua menjadi kesulitan mengakses sekolah berkualitas dan ketika sekolah itu tidak mampu untuk membeli barang-barang berkualitas siswa siswi dirugikan. Karena dia tidak akan memperoleh layanan pendidikan yang baik. Laboratoriumnya tidak lengkap, sarana-prasarana, kemudian alat-alat lain yang dipergunakan untuk Pendidikantidak memenuhi syarat.
Keinginan berkolaborasi dengan sekolah dari luar negeriyang dilakukan dengan kampus internasional, berpotensi jadi masalah dan masyarakat yang akan kena. Karena PPN yang menanggung adalah masyarakat/orang tua. Hal ini akan membuat pendidikan kita semakin runyam, menjadi kapitalis . Akhirnya Pendidikan tidak terpenuhi. Amanah konstitusi pasal 31 ayat 1 tidak terpenuhi oleh pemerintah yang harusnya menyelenggarakan sesuai dengan tujuan Pendidikan .
BADAN HUKUM PENDIDIKAN
Pembedaan sekolah negeri dan swasta sebagai wajib pajak sangat tidak beralasan.Banyak sekolah swasta bernaung dalam Yayasan,perkumpulan sejak dulu serta bersifat nirlaba. Namun sekarang ini ada Lembaga Pendidikan swasta yang berorientasi profit, karena badan hukumnya bukan Yayasan/perkumpulan tetapi badan hukumnya adalah Perseroan Terbatas . hal ini harus diatur. Penyelenggara pendidikan yang berbadan hukum Perseroan Terbatas berarti menganggap pendidikan sebagai prifat ggood karena mereka adalah pengusaha.
Identifikasi untuk menentukan jumlah lembaga pendidikan yang berbentuk Perseroan Terbatas harus dilakukan, sebagai dasar penentuan Siknifikan atau tidak , jika dikenakan pajak. Masyarakat juga melihat adanya Perseroan Terbatas yang melakukan jasa pendidikan , antara lain lembaga kursus bahasa inggris yang menyelenggarakan tes TOEFLdengan orientasi bisnis. Kemudian ada juga Lembaga kursus yang berasal dari afiliasi dengan luar negeri. Lembaga pendidikan dengan badan hukum Perseroan Terbataspada umumnya berbiaya mahal, serta berciri profit oriented. Ini adalah konsekuensi logis badan hukum Perseroan Terbatas. Jika identifikasi menunjukkan angka yang tidak signifikan, maka pengenaan pajak terhadap dunia pendidikan perlu dikaji ulang. Harus ada perhitungan yang cermat, berkaitan dengan rencana menetapkan sector Pendidikan sebagai salah satu obyek pengenaan pajak. Seberapa signifikan presentase dan potensinya menaikan pajak .
Hal ini berBeda dengan yayasan/perkumpulan. Pada sisi yang lain ada yayasan dengan sekolah besar dan bagus serta berbiaya mahal, tetapi sebenarnya mereka mempergunakannya untuk pengembangan. Tidak hanya itu,biaya mahal juga digunakan untuk subsidi silang di beberapa tempat. Jadi beberapa sekolah justru untuk mensubsidi mereka yang kurang mampu atau yayasan itu memiliki beberapa sekolahan untuk subsidi silang. Sebaiknya pemerintah tidak perlu curiga bahwa sekolah swasta yang seolah-olah berbiaya mahal mencari keuntungan. Perlu di lihat dari badan hukumnya dulu.
Fenomena ini harus menjadi pertimbangan saat akan menerapkan pajak Pendidikan. Pemerintah harus memastikanjika paradigma Pendidikan Indonesia adalah public good.
Dengan demikian,pemerintah harus hadir dan mensuport. Saat sekolah membeli alat, diberi keringanan pajak.Sehingga pendidikan menjadi murah dan terjangkau.
Realitanya, pemerintah baru bisa menyediakan dana BOS sekitar 1 juta/tahun.. Idealnya sekitar 5 sampai 7 juta
Masyarakat memahami niat pemerintah untuk perluasan objek pajak , tapi khusus untuk perluasan dengan menempatkan di dunia Pendidikan sepertinya tidak tepat, karena pertimbangan pembangunan, amanat Undang-Undang, pertimbangan sosiologis, orang tua yang beresiko nanti terbebani ketika lembaga Pendidikan akan dikenai pajak.
Melihat fakta diatas , opsi terbaik adalah eliminasi pajak pendidikandari RUUKUP KARENA belum waktunya dan belum relefan dalam tahun-tahun ini serta dalam rangka memproteksi dunia pendidikan dengan semangat nirlaba.
Akhirnya public berharap, penutupan tahun 2021 ditandai dengan dihapusnya frasa pajak Pendidikan dari rancangan Undang-Undang ketentuan umum dan tata cara perpajakan .
Posting Komentar untuk "Dilema Pajak Pendidikan"
Posting Komentar