Kekerasan Seksual di Kampus
(Artikel ini telah tayang di Suara Merdeka 13 Desember 2021)
Kasus pelecehan seksual dilingkungan kampus semakin menjadi sorotan saat Pemerintah mengeluarkan permendikbud no 30 tahun 2021 tentang pencegahan penanganan kekerasan seksual atau PPKS dilingkungan perguruan tinggi.
Pemerintah menegaskan, enerbitan permen tersebut berdasarkan data dan fakta bahwa kekerasan dilingkungan kampus telah lama terjadi. Tidak ada cara lain untuk menyebutnya darurat , tidak hanya ada pandemic covid tapi ada pandemic kekerasan seksual dilihat dari data apapun. Dari Komnas Perempuan ada data bahwa dari semua aduan 27 persen diterima di jenjang perguruan tinggi. Berdasarkan testimoni dari 174 dari 79 kampus,korban kekerasan seksual hampir 90 persen adalah perempuan. Survei kepada dosen, tentang terjadinya kekerasan seksual dikampus. Ternyata 77 persen merespon bahwa kekerasan seksual pernah terjadi dikampus.
Meski begitu, sejumlah pihak menuding permendikbud melegalkan zina melalui frasa tanpa persetujuan korban dalam sejumlah poin pada pasal 5 aturan tersebut. Menurut Muhammadiyah, konteks relasi seksual yang tidak islami (diluar pernikahan) apapun bentuknya itu tidak kemudian begitu ada persetujuan korban menjadi benar. Tetap gak benar. Itu faktor materiil terpenting kenapa mereka menolak permen ini.
Namun pandangan berbeda datang dari komnas perempuan. Mereka menyebut pasal yang menjadi kontroversi dalam aturan tersebut justru menjadi sebuah penegasan bahwa Tindakan kekerasan seksual didasari atas paksaan yang dilakukan kepada korban. Sebetulnya yang dimaksudkan dengan persoalan kesusilaan justru sudah diatur didalam kode etik dan juga ranah Pendidikan, jadi kalau permendikbud memastikan soal bagaimana melakukan pencegahan dan penanganan pada sebuah Tindakan seksual yang tidak disepakati oleh satu pihak, maka itu tidak sama dengan melegalkan Tindakan lain yang dianggap sebagai persoalan sosial karena mendobrak atau melangga norma norma sosial yang ada.
Sejatinya, negeri ini sudah memiliki beberapa undang undang hanya saja masih ada kekosongan hukum di kampus. Ada UU perlindungan anak.tapi itu untuk anak dibawah usia 18 tahun. Ada UU KDRT namun itu dalam lingkup rumah tangga. Ada UU Tindak perdagangan orang, tapi hanya yang ada dalam sindikat perdagangan manusia. Jadi ada kekosongan diatas usia 18 tahun, belum atau tidak menikah, dan tidak terjerat dalam sindikat perdagangan manusia, dan kampus masuk dalam kotak ini. Dengan demikian,untuk perguruan tinggi harus ada peraturan yang khusus dan spsifik.
Kekerasan Seksual di kampus terjadi dan seringkali terlindungi karena ada relasi kuasa yang timpang. Dalam kasus kekerasan seksual, umumnya pelaku memiliki posisi dominan di hadapan korban. Sebaliknya, korban berada dalam posis rentan (vulnerable) di hadapan pelakunya. Survey menunjukkan bahwa profil pelaku kekerasan seksual di kampus sebagian besar adalah dosen, diikuti oleh mahasiswa, kemudian tenaga kependidikan. Sebaliknya, dari survei tersebut diketahui bahwa korban sebagian besar adalah mahasiswa, dan terdapat sebagian kecil dosen serta tenaga kependidikan. Dari profil pelaku-korban di atas, nyata bahwa terdapat ketidaksetaraan posisi-relasi pelaku dan korban. Dari perspektif kriminologi, diketahui terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya kekerasan seksual, yakni: adanya relasi kuasa (pelaku-korban) dalam masyarakat dengan budaya patriarki; adanya peluang (opportunity); serta ketiadaan aturan, mekanisme, reaksi atau respons yang memadai (lemahnya kontrol sosial). Namun demikian, diakui bahwa pada kekerasan seksual adanya relasi yang tidak seimbang, yakni posisi dominan pelaku dan sebaliknya, posisi rentan korban dalam masyarakat dengan budaya patriarki merupakan faktor determinan yang signifikan. Dengan demikian kekerasan seksual dalam berbagai wujudnya tidak lagi dapat dipandang semata-mata sebagai masalah agresivitas seksual melainkan dipandang sebagai ekspresi dari hubungan kekuasaan atau dominasi.
DAMPAK KEKRASAN SEKSUAL
Kekerasan seksual adalah tindakan yang membawa dampak yang merugikan korban tidak hanya secara fisik, melainkan psikologis, sosial, bahkan ekonomi. Kekerasan seksual juga merupakan tindakan yang terbentuk karena persoalan diskriminasi berdasarkan gender dan konstruksi sosial budaya lainnya termasuk juga usia dan status sosial, dalam hal ini menjadi timpang. Terkait dengan upaya untuk melindungi peserta didik dari tindakan-tindakan bersifat diskriminatif khususnya dalam bentuk kekerasan seksual, maka Negara berkewajiban untuk menyelenggarakan mekanisme berupa peraturan maupun kebijakan yang melindungi atau dapat dijadikan landasan hukum untuk upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus.
Kekerasan seksual membawa dampak yang sangat dalam. Dampak tersebut tidak hanya menimpa diri korban. Akan tetapi juga keluarga, bahkan lingkungan di sekitar korban. Dampak yang dirasakan keluarga mencakup dampak psikologis, emosi, sosial. Kondisi yang dialami oleh korban, juga dapat dialami keluarga, termasuk orang yang menyaksikan dan atau mengetahui keadaan tersebut.
Dalam rangka mengoptimalkan PPKS, kampusharus :
- Menyedeharnakan dan memperjelas alur pelaporan , sehingga korban dan pelapor tidak takut untuk melapor dan tidak perlu mengulang ceritanya berkali- kali. Selain kejelasan alur, penting juga untuk terdapat kejelasan siapa pemegang otoritas pada tiap tahapan dan wewenangnya untuk menerima laporan serta menangani. Akhirnya perlu ada SOP pada tingkat Universitas dengan peraturan payungnya adlah Permendikbud no 30 tahun 2021.
- Membentuk Unit Pelayanan Terpadu dalam penyediaan layanan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Selain itu, Unit Pelayanan Terpadu harus bisa berkoordinasi dengan Unit Layanan Disabilitas sebab anggota sivitas akademika dengan disabilitas cenderung lebih nyaman melapor ke layanan yang langsung mengerti dan menyasar pada kebutuhan kelompok atau individu dengan disabilitas.
- Menerbitkan Surat Keputusan Rektor pendukung Peraturan Menteri. Selain itu, Surat Keputusan Dekan tiap fakultas yang menjelaskan SOP penanggulangan kekerasan seksual juga perlu disosialisasikan .
- Memasukkan pendidikan anti-kekerasan seksual dalam kurikulum bagi ssemua civitas academika. Materi pendidikan anti-kekerasan seksual tersebut juga harus disampaikan dan dibuat dengan bentuk serta isi yang bisa dijangkau oleh para anggota sivitas akademika dengan disabilitasterutama mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan pekerja .
- Menciptakan mekanisme yang mempertimbangkan kebutuhan korban kekerasan seksual untuk dapat pulih dari trauma (trauma-healing) yang beragam. Dalam hal ini, perguruan tinggi harus memastikan hak cuti kuliah atau kerja korban tidak hilang, dan korban memperoleh waktu dan bimbingan akademik khusus untuk mengejar ketertinggalan akademiknya.
Terakhir dan tidak kalah penting adalah, dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus, harus ada pelibatan perwakilan mahasiswa dalam pembuatan UPT dan SOP PPKS.
(Drs. Adi Prasetyo, S.H., M.Pd Wakil Ketua PGRI Propinsi Jawa Tengah, Staf Ahli Bupati Bidang PHP Kabupaten Semarang)
Posting Komentar untuk "Kekerasan Seksual di Kampus"
Posting Komentar