OTOPSI REVISI UU SISDIKNAS



(Artikel ini telah tayang di Suara Merdeka 3 Juni 2022)

Rencana untuk merevisi UU Sisdiknas mendapat reaksi yang beragam. Ada yang setuju, tapi tidak sedikit pula yang mengusullkan penundaan, bahkan ada yang meminta pengkajian ulang sejak awal, dengan melibatkan semua stake holder Pendidikan.

Dalam naskah akademis yang terdiri dari 228 halaman dan draft RUU Sisdiknas bersistematika 19 Bab dan 155 pasal ini, masih terdapat pasal pasal yang debatable.

Salah satu pasal yang dipersoalkan, adalah penghapusan kriteria tentang kualifikasi akademik guru. Pada pasal 122 hanya dituliskan bahwa, “Setiap orang yang akan menjadi guru wajib lulus pendidikan profesi guru”. Secara universal di dunia ini, yang namanya profesi akan mengalami proses pendidikan selama dua tahap.

Pertama adalah pendidikan akademik untuk membangun fondasi dan dasar-dasar keilmuan. Penguasaan bangunan keilmuan ini yang sangat fungsional dibuktikan dengan kualifikasi akademik. Dalam UU Guru dan Dosen, norma kualifikasi akademik calon guru adalah D4 atau S1.

Kedua adalah pendidikan profesi. Pendidikan profesi merupakan penajaman kiat-kiat dari pendidikan akademik yang sudah diperoleh sebelumnya. Apa yang sudah dibangun di dalam pendidikan akademik akan diperkuat melalui pendidikan profesi di dalam lingkungan yang otentik dan asli. Ada proses penajaman dalam praktik di lingkungan pendidikan yang secara nyata baik itu di dalam kelas maupun di dalam keseluruhan sistem interaksi dan relasi yang membingkai kinerja seorang guru.

Melalui pendidikan profesi, akan memperkuat kualitas pengajaran dan membuat guru semakin mahir sebagai pendidik. Pengetahuan akademik yang kokoh disertai dengan pengembangan profesi yang tepat dan baik akan membangun kompetensi seorang guru menjadi guru profesional dan mampu menginspirasi peserta didik. Sangat mustahil jika di dalam pengembangan profesi guru, kriteria kualifikasi akademik diabaikan.

Menghapus norma kualifikasi akademik bagi para calon guru berpotensi melahirkan kebijakan pengembangan profesi yang tidak kokoh. Apalagi bila konsepnya  tidak diberi definisi secara jelas melalui norma di dalam Undang-undang Sisdiknas.

Pasal penuai kritik lainnya adalah Pasal 8 huruf (c)  yang menyebutkan tiap warga negara wajib ikut bertanggung jawab menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi Pelajar yang dibebaskan dari kewajiban. 

Jika tanpa penjelasan, pasal itu bisa ditafsirkan bahwa tiap warga negara akan sepenuhnya membiayai pendidikan mereka. Pasal itu bisa juga dimaknai bahwa pemerintah tak akan memberi subsidi, seperti bantuan operasional sekolah (BOS) atau bentuk yang lain. Hal ini bertentangan dengan konstitusi. Pasal 31 UUD 1945, dengan tegas menyatakan setiap warga negara wajib mendapatkan pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Namun ternyata dalam draf RUU setiap orang justru diwajibkan menanggung biaya Pendidikan.  

Pada sisi yang lain, hilangnya frasa madrasah dari RUU Sisdiknas,telah menimbulkan  persepsi adanya “gagal faham”  atas eksistensi madrasah. Dalam sejarah Indonesia, lembaga pendidikan yang berjuang pertama kali mencerdaskan kehidupan bangsa adalah madrasah yang didirikan oleh pondok pesantren, Muhammadiyah, dan Lembaga Pendidikan Ma’arif. Banyak pemimpin dan tokoh nasional lahir dari madrasah.

Sesungguhnya masih banyak pasal yang belum komprehensif, banyak hal fundamental yang hilang, tidak diatur, dan pasal-pasal yang  ambigu. Tidak hanya itu, ada yang  menilai tujuan pendidikan nasional dalam naskah akademik revisi UU Sisdiknas diredusir menjadi profil pelajar Pancasila dan ada kecenderungan sekadar melanggengkan program temporer Kementerian


PENUNDAAN RUU SISDIKNAS 

Rencana revisi UU Sisdiknas 2022 dinilai terburu-buru. Selain belum siap, draf dan naskah akademik RUU tersebut belum jelas dasar pembahasannya. Bahkan road map atau peta jalan pendidikan nasional yang menjadi dasar pembuatan RUU Sisdiknas belum jadi. Road map itu seharusnya menjadi arah pendidikan ke depan.”

Komisi X DPR yang membidangi pendidikan sebenarnya telah meminta Kementerian memperbaiki konsep "Peta Jalan Pendidikan 2020-2035". Namun, setahun berselang, road map tersebut belum juga dipublikasikan. 

Meski demikian, Kementerian justru menyusun draf RUU Sisdiknas dan naskah akademiknya  yang diselesaikan pada Desember 2021. Pada periode Januari hingga Februari 2022, Kementerian mengagendakan sejumlah uji publik bersama pakar hukum dan pendidikan, organisasi dan penyelenggara pendidikan, asosiasi guru, serta pemerintah.

Namun uji publik tersebut belakangan ditengarai tak memenuhi kaidah akademis. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) misalnya, hanya diberi waktu selama lima menit untuk memberikan pandangannya dalam agenda pembahasan. Padahal idealnya pelibatan publik mencakup agenda diskusi, permintaan masukan untuk kemudian dipelajari. Agendanya pun seharusnya dilakukan lebih dari sekali.

Dengan pengerjaan yang terburu-buru , revisi UU Sisdiknas berpotensi tidak akan menghasilkan produk undang-undang sistem pendidikan yang visioner dan membawa kemajuan. 

Pembuatan undang-undang yang baik mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat dalam seluruh tahap, dari perencanaan, penyusunan, hingga pembahasan. Nampaknya, , hal ini tidak dilakukan dalam perencanaan RUU Sisdiknas

Tidak hanya itu,harus dilakukan sinkronisasi atas UU yang berkaitan dengan Pendidikan, dimana jumlahnya tidak kurang dari 23 UU, antara lain UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU 43/2007 tentang Perpustakaan, UU 12/2010 tentang Gerakan Pramuka, UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU 11/2014 tentang Keinsinyuran. Kemudian UU 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran, UU 3/2017 tentang Sistem Perbukuan, UU 18/2019 tentang Pesantren, UU 11/2010 tentang Cagar Budaya, UU 13/2018 Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Sinkronisasi seluruh UU yang berkaitan dengan pendidikan bertujuan agar tidak ada tumpang tindih antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. 

Cukup banyak alasan yang disampaikan agar pengesahan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ditunda. Ada yang menganggap draf RUU Sisdiknas menyederhanakan pendidikan. Ada aturan-aturan yang satu dari yang lain bertabrakan. Malah ada yang berpendapat eksistensi guru kian diabaikan. Selain itu sistem transformasi pendidikan tidak mengarah ke pembelajaran yang bermutu dan ideal. Tak pelak harus ada pembahasan ulang draf RUU Sisdiknas agar didapat pembelajaran yang berkualitas.

Nusantara memang perlu pembaruan Sisdiknas. Untuk memperbarui diperlukan keterlibatan banyak pihak. Harus dibentuk forum adhoc, yang mengakomodir semuan unsur, sehingga Ketika menjadi UU, tidak akan digugat melalui MK. Publik juga mendorong Kementerian membentuk Panitia Kerja Nasional RUU Sisdiknas yang melibatkan berbagai kalangan untuk mendesain "Peta Jalan Pendidikan Nasional", naskah akademik, dan draf RUU Sisdiknas.

Yang tidak kalah pentingnya, pragmatisme jangka pendek dalam merancang UU Sisdiknas harus dijauhkan. Selain itu, pembahasan sejatinya mengutamakan kesiapan sistem pendidikan yang maju dan tanggap akan tantangan zaman. 

Menunda pengesahan rancangan undang-undang seraya menyerap asupan kritik dan berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan pendidikan untuk memikirkan persoalan pendidikan pada masa kini yang kian kompleks, adalah Langkah bijak.  Intinya, pendidikan harus menjawab dinamika era desrupsi dan aspirasi banyak pihak. Memang sulit mempertemukan kebutuhan multi kompleks , tetapi tetap harus diupayakan.


Drs. Adi Prasetyo, S.H., M.Pd., Wakil Ketua Pengurus PGRI Propinsi Jawa Tengah, Staf Ahli Bupati Bidang Kemasyarakatan dan SDM Kabupaten Semarang.

Posting Komentar untuk "OTOPSI REVISI UU SISDIKNAS"