Urgensi Kualifikasi Pendidikan Bagi Guru
(Artikel ini telah tayang di Suara Merdeka 04 Oktober 2022)
Masyarakat Pendidikan dikejutkan dengan tidak dicantumkannya kualifikasi Pendidikan bagi siapa saja yang ingin menjalani profesi sebagai guru. Seperti diketahui, pemerintah merencanakan akan melakukan revisi atas UU Sisdiknas. Namun, ternyata dalam draft revisi yang selalu berubah tersebut, banyak hal hal yang menimbulkan kontroversi.Salah satu pasal yang menimbulkan perdebatan adalah pasal yang tidak secara tegas memastikan kualifikasi Pendidikan bagi guru. Pada draft revisi Agustus,Pasal 109 ayat hanya menyebutkan setiap orang yang akan menjadi guru wajib lulus dari Pendidikan profesi guru yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang ditetapkan olePemerintah Pusat. Tidak ada satu ayatpun yang menegaskan kualifikasi Pendidikan yang wajib dipenuhi bagi mereka yang akan memilih profesi guru.
Hal tersebut, jika kita bandingkan dengan UU no 14/2005 tentang Guru dan Dosen, sangatlah berbeda. Pada UUGD, dinyatakan secara tegas dan tersurat tentang kualifikasi Pendidikan yang wajib dipenuhi seorang guru. Pasal 8 menyatakan guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik tersebut diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Ditegaskan pula, bahwa setiap guru wajib memiliki kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogic( kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik ), kompetensi kepribadian(kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik ), kompetensi sosial ( kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar ), dan kompetensi profesional ( kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam ), yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Tidak hanya itu, UUGD juga memastikan setiap guru wajib mengikuti sertifikasi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah serta dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Jadi persyaratan menjadi guru betul betul diatur secara tegas dalam UUGD.
PENGHAPUSAN KUALIFIKASI AKADEMIK GURU
Dalam rancangan Undang-undang Sisdiknas yang baru dan banyak menuai kontroversi, kriteria tentang kualifikasi akademik guru dihapuskan. Pada pasal 122 hanya dituliskan bahwa, “Setiap orang yang akan menjadi guru wajib lulus pendidikan profesi guru”. Secara universal di dunia ini, yang namanya profesi akan mengalami proses pendidikan selama dua tahap.
Yang pertama adalah pendidikan akademik yaitu untuk membangun fondasi dan dasar-dasar keilmuan. Penguasaan bangunan keilmuan ini yang sangat fungsional ini dibuktikan dengan kualifikasi akademik. Dalam UU Guru dan Dosen, norma kualifikasi akademik calon guru adalah D4 atau S1.
Yang kedua adalah pendidikan profesi. Pendidikan profesi adalah penajaman kiat-kiat dari pendidikan akademik yang sudah diperoleh sebelumnya. Jadi, apa yang sudah dibangun di dalam pendidikan akademik akan diperkuat melalui pendidikan profesi di dalam lingkungan yang otentik dan asli. Artinya ada proses penajaman dalam praktik di lingkungan pendidikan yang secara nyata baik itu di dalam kelas maupun di dalam keseluruhan sistem interaksi dan relasi yang membingkai kinerja seorang guru.
Pendidikan profesi bersifat penajaman, pengharusan, dan juga penerapan praktik-praktik keilmuan atau akademik dalam situasi nonrutin pengajaran. Karena itu, guru perlu memiliki pengembangan profesi untuk melengkapi kepiawaiannya atau kemahirannya di dalam mengajar di dalam situasi yang konkret. Situasi pengajaran itu biasanya sangat unik, tidak terduga, dan membutuhkan improvisasi dan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh guru secara cepat.
Karena itu, melalui pendidikan profesi yang seperti inilah yang akan memperkuat kualitas pengajaran dan membuat guru semakin mahir sebagai pendidik. Pengetahuan akademik yang kokoh yang disertai dengan pengembangan profesi yang tepat dan baik akan membangun kompetensi seorang guru menjadi guru yang profesional dan mampu menginspirasi peserta didik. Jadi, sangat mustahilah di dalam pengembangan profesi guru, kriteria kualifikasi akademik ini diabaikan.
Memang benar, Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan semua orang bisa jadi guru. Tetapi, tidak semua orang bisa menjadi guru yang profesional. Karena guru yang profesional, mempersyaratkan kemampuan akademik sebagai fondasi keilmuan dan pengembangan profesi sebagai saran pengembangan pelatihan profesinya di dalam situasi lingkungan dan konteks yang otentik pengajaran, yang sifatnya sangat unik, khas, dan tidak terduga.
Semua lelemen masyarakat tentu saja menginginkan bahwa hanya guru-guru yang berkualitas, guru-guru yang memiliki kompetensi akademik yang kuat, fondasi keilmuan yang sangat kokoh, disertai dengan pengembangan profesi yang baiklah, yang hadir di tengah-tengah, mengajar para siswa, sehingga mereka mampu menginspirasi dan tentu saja mentransformasi peserta didik menjadi individu yang tumbuh sesuai dengan minat, bakat, potensi, dan juga cita-citanya di masa depan. Jadi, kualifikasi akademik bagi calon guru tetap diperlukan.
Dengan demikian penghapusan norma kualifikasi akademik guru di dalam RUU Sisdiknas ini sangatlah tidak tepat. Rancangan undang-undang harus tetap menyertakan kualifikasi akademik guru kemudian menjelaskan proses pengembangan profesi guru seperti apa yang diharapkan sebagai norma-norma umum sehingga nanti di dalam peraturan perundangan turunannya, pengembangan profesi guru memiliki koridor dan proses pengembangan profesi yang tepat sasaran, efektif, dan berbasis pada realitas di lapangan.
Menghapus norma kualifikasi akademik guru bagi para calon guru berpotensi melahirkan kebijakan pengembangan profesi guru yang tidak kokoh. Apalagi bila konsep pengembangan profesi guru ini tidak diberi definisi yang jelas melalui norma di dalam Undang-undang Sisdiknas.
Sesuatu yang tidak diatur dalam norma undang-undang, kemungkinan besar juga tidak akan diatur di dalam produk perundangan turunannya. Revisi Undang-undang Sisdiknas telah secara factual menghapuskan norma tentang kriteria kualifikasi akademik guru. Di dalam undang-undang sebelumnya, guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4 atau S1. Sehingga ekosistem pendidikanpun menganggap penghapusan kualifikasi akademik sebagai sebuah kebijakan yang tidak beralasan.
Melihat kegaduhan yang timbul akibat rencana pemerintah melakukan revisi atas UU Sisdiknas, akhirnya berbuntut penolakan Badan Legislatif DPr-RI menolak usulan pemerintah tersebut. Badan Legislasi tidak mau kegaduhan yang timbul sebagai akibat rencana pemerintah melakukan revisi UU Sisdiknas tersebut, dipindahkan ke lembag Legislatif. Badan Legislasi-pun meminta pemerintahmengevaluasi dan merapikan terlebih dahulu rancangan undan undang tersebut lebih dahulu, lalu mengkomunikasikan denngan berbagai pihak. Saatnya pemerintah melakukan komunikasi dengan berbagai komunitas Pendidikan secara lebih intensif, sehingga akan diperoleh undang undang sisdiknas yang akomodatif.
Drs. Adi Prasetyo, S.H., M.Pd., Staf ahli Bupati Bidang Kemasyarakatan dan SDM Kabupaten Semarang, Wakil Ketua PGRI Propinsi Jawa Tengah.
Posting Komentar untuk "Urgensi Kualifikasi Pendidikan Bagi Guru"
Posting Komentar